Meledaknya Bom Waktu

by - September 14, 2019



Tok, tok, tok ...

Ketukan pintu dari luar kamar terdengar saat aku sedang berbenah jilbab di depan kaca. Segera aku membuka pintu. Seorang santri dengan raut muka panik duduk di depan pintu.
"ustadzah, ditimbali ustadzah Nur di asrama Iflah" sergapnya
"Engge, ada apa nduk?" jawabku ikut bingung
"Niku ada santri yang sakit, ndak bisa nafas, sudah di nebul tapi tetap mboten mendingan" lanjutnya
"Terus sudah nimbali Ustdzah Nur?" heran ku pada pernyataannya sebab aku bukan bagian kesehatan.
" Ngge ustadzah, di sana sudah ada ustdzah Nur, terus di minta nimbali panjenengan karena ini terkait psikologisnya, ngonten " jelasnya

" oh ngge-ngge, ya sudah sek tenang dulu, jelaskan awalnya gimana kok bisa begitu?"
"Jadi begini ustadzah, ini mbak kamar saya tadi niku tiba-tiba nangis sepulang dari sekolah, saya dan teman-teman sudah bertanya tapi dia mboten purun jawab kenapa, terus sampek mboten bisa nafas sambil megang dadanya sakit gitu, dan sudah beberapa kali pingsan"
"walah, sampai segitu ya.. memag sebelum seperti ini sudah pernah kayak gini ta?"

"mboten ustadzah, anaknya niku tertutup jarang berbagi cerita sama yang lain"
"oh.. terus kiranya dia biasa cerita ke siapa ya?"
"anaknya suka nulis diary ustadzah, jadi kalu ada apa-apa biasanya nulis diary ngonten"
 Setelah panjang lebar aku menanyai mbak santri tadi, anak itu bernama Zia, duduk di bangku kelas sepuluh, dan sudah berjalan empat tahun menjadi santri pondok ini. 
"baiklah, ayo kesana"
"engge ustadzah"

Sesampainya di asrama Iflah, kulihat beberapa orang sudah ada di depan kamar dan duduk di sekitar Zia yang terus menangis dan berusaha nafas. Ustadzah Nur dan mbak santri yang membantu di kesehatan juga sudah ada di sampingnya. Ziah yang terlentang dengan nafas yang terlihat sulit sekali ia lakukan, mata nya tertutup dan sesekali membuka tapi tak fokus sambil menangis. Belum pernah juga aku menghadapi klien dengan kondisi yang seperti ini.

Melihat dari kondisi yang ada pada Zia, aku bisa menyimpulkan bahwa dia sudah terlalu lama menumpuk dan menekan perasaan sedih, kecewa, jengkel, dan perasaan negatifnya, sampai lah pada puncaknya seperti ini.

Aku mencoba menjelaskan ke semuanya tentang diagnosa sementara ku pada semua yang menemani Zia. Satu persatu kami mencoba untuk membujuknya agar lebih tenang dan bisa mengatur nafasnya.

Bahkan beberapa kali pingsan dia masih bisa sadar meski harus nangis lagi, tapi berangsur dia bisa mengatur nafasnya. 



"Coba, nangis aja yang keras Zia  ndak papa! jangan ditahan"
" Ia kami tahu itu sangat menyakitkan dan buat kamu jengkel, jadi jangan disimpen ayo dikeluarkan, ndak papa nangis saja" usahaku pada nya. Dia pun menangis keras dan mulai bisa bicara .
"pegel aku, kecewa aku" rintihnya sembari menagis
terus ia keluarkan kata-kata itu sampai ia pingsan lagi. Beberapa menit kemudia dia sadar lagi dan agak tenang kemudian salah satu mbak kesehatan mencoba meyakinkan bahwa semuanya bisa baik-baik saja kalu mau diceritakan dan sedikit membuat Zia terawa kecil sebab guyonannya.


Setelah agak membaik, Ustadzah Ima memberi saran agar bisa berbicara dua mata dengan aku agar sebab dia bisa diketahui dan diselesaikan. Akhirnya kami meminta yang lain untuk membawa ke dalam kamar agar lebih tenang dan tidak dilihat santri lain.

Setelah di kamar, dia masih belum bisa sadar penuh tapi sudah lebih tenang dari sebelumnya. 
"baiklah Zia, Ustadzah sangat terbuka jika zia berkenan cerita sama ustadzah, kapanpun" rayuku pada nya. 
dia berbisik dengan salah satu mbak kamarnya." Ustadzah diminta baca tulisan dan diarynya aja, biar tahu masalahnya seperti apa" kata mbak santri tadi.

"oh baiklah, bisa di ambilkan"
 Dua buku dan satu kota kecil berisi kumpulan kertas-kertas yang dilipat telah diserahkan pada ku. 

"rupanya sudah menumpuk banya, pantas saja" kata ku dalam hati. Karena sudah mendingan, kami berpamitan untuk kembali ke kamar.

Ku baca satu persatu apa yang Zia tulis. Semuanya tentang apa yang ia rasakan selama di pondok, omongan teman-temannya yang tidak suka dengan perilaku Zia, ejekan, berusaha dengan pura-pura biasa saja dan tersenyum padahal itu menyakitkan baginya, coretan gambar tentang dia dulu dan sekarang dan perasaanya yang ingin kembali menjadi lebih baik "buruk" daripada sekarang yang berusaha baik tapi tetap di sangka bruruk.. Lengkap ia tulis bagaimana perasaan yang ia rasakan dan sikap teman-temannya.

Dari kondisi di atas aku sadar akan bahaya menumpuk, menyimpan dan menekan perasaan negatif terlalu lama, dia menjadi bumerang untuk diri kita sendiri, terutama fisik. Ini bisa disebut sebagai PSIKOSOMATIS. Apa itu Psikosomatis? 

Psikosomatis adalah penyakit yang melibatkan pikiran dan tubuh, dimana pikiran mempengaruhi tubuh hingga penyakit muncul atau menjadi tambah parah. Gejala fisik tersebut disebabkan oleh meningkatnya aktivitas listrik atau impuls saraf dari otak ke berbagai bagian tubuh. Selain itu, pelepasan Zat adrenalin (epinefrin) ke dalam aliran darah juga bisa menyebabkan gejala fisik lainnya.

Untuk lebih jelasnya bisa dibaca pada laman berikut Psikosomatis

freepik.com


Semakin banyak kita menumpuk perasaan negatif, perasaan yang tidak baik jika menghuni hati terlalu lama. Lalu situasi yang tak mendukung dan tak memihak, membuat kita terus menekannya agar tak tampak keluar sebab sikap tak enak hati, atau agar kita tidak dipandang buruk atau sebab desakan orang di sekitar, kemudian enggan kita ungkapkan atau alihkan pada kegiatan lain atau tak tepat dalam mengungkapkan maka lama-lama dia akan penuh sesak kemudian mengembung dan meletupsecara tiba-tiba.  BOOM!!! Bom waktu meledak, ia pecah dengan tangisan dan kesakitan hati lalu pada puncaknya ia akan menimpa bagian diri kita yang lain, yaitu fisik.

Tentu, apa yang sedang kita hadapi dan alami menjadi konsumsi pikir kita, dari sanalah nanti instruksi tubuh akan bergerak. Jika ia terlalu padat dengan hal-hal yang berat, penat dan banyak fungsi otak juga akan bekerja keras. Apalagi jika ia tak mampu dikondisikan  dengan cara pengalihan atau peluapan pada hal lain dengan baik makan otomatis akan mengganggu kendali sensor otak hingga berakibat buruk pada sensor anggota tubuh yang lain. Seperti penjelasan di atas.

Nah, mari kita berkawan dengan perasaan negatif ...

Dalam keseharian, pastilah kita bertemu dengan orang yang tidak suka, tidak setuju dan kadang membuat kita kecewa pun marah. Begitulah memang jalan hidup manusia yang tidak bisa dihindari. Karena dari situ kita bisa tahu dan pernah bersikap sabar, ikhlas, dan Qonaah. Kondisi yang tak sesuai dengan harapan kita tadi menjadi guru yang mendidik diri kita untuk bisa lebih kuat, lebih baik dan esok menjadi teladan bagi yang lain.

Tapi bukan berarti kita mengalah terus menerus dengan keadaan yang seakan semena-mena dengan kita. Pertama kita perlu menerima perasaan negatif tersebut, menerima hal wajar berupa emosi negatif terjadi pada kita. Berhentilah sejenak, tutup mata dan mulai atur napas dengan baik dan benar. Coba kita cari tahu apa alasan ia muncul. Boleh kita ekspresikan apapun emosi yang muncul, tapi tetap harus ingat semua harus dilakukan secara rasional. Pilih aktivitas yang juga baik pada diri kita. Jangan tunggu lama sampai ia penuh sesak.

Menangislah jika itu membuat lebih lega, tak ada salahnya dengan menangis.

Emosi negatif bisa dialihkan dengan mengerjakan tugas sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas fisik, atau bisa dituangkan dengan menulis atau melukis. Atau lebih baiknya berbagi rasa dengan teman mu atau orang disekitarmu yang memang siap mendengar perasaan mu, jika kau merasa tidak ada yang mau segeralah pergi ke guru BK, Konselor atau Psikolog yang kamu kenal. Mereka akan dengan senang  hati mendengar mu dan mencoba memahami perasaan mu. Barangkali mereka adalah perantara dari terkabulnya doa mu kepadaNya yang bisa menemukan solusi dari masalahmu.

"Memiliki seseorang di sampingmu untuk berbagi rasa sakitmu bisa mengurangi rasa sakitmu dan memberimu kebaranian untuk menerima rasa sakitmu, mari berbagi dan kenali rasa sakit orang lain agar kita bisa memahami satu sama lain"   (Doctor John)

Mari sayangi diri kita sendiri, dan Jangan takut berbagi !


14 Muharram 1441 H




You May Also Like

2 komentar

  1. It's good solution...
    But sometimes we can not find a good friend/good listener,can tell you?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin ibu kita atau psikolog atau konselor bisa menjadi pendengar yang baik

      Delete

Silakan tinggalkan pesan, saran, masukan disini yaaa....

Powered by Blogger.