Sepatu

by - November 26, 2020


Suatu hari saya melihat salah satu unggahan status whatsapp salah seorang teman, sebuah foto yang menunjukkan sepatu dengan solnya yang sudah menganga. Rupanya ia telah memakainya dengan semangat. Dari situ saya teringat tentang kisah sepatu saya. 

Saat itu saya duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saya adalah siswi yang alhamdulillah beruntung bisa melanjutkan sekolah Negeri, bagi saya saat itu biaya sekolah cukup mahal dengan kondisi keluarga yang cukup dengan tiga saudara yang harus diberi nafkah oleh bapak. Ibu saya adalah pejuang yang telah memperjuangkan saya agar bisa sekolah dengan biaya dispensasi. Ibu berusaha mendapatkan keringanan biaya dari pihak sekolah agar saya bisa tetap sekolah dengan biaya yang cukup. Bahkan beliau harus mendatangi Kepala sekolah secara langsung, tapi memang dari pihak sekolah sangat baik hati menawarkan wali murid untuk mengajukan keriganan biaya pendidikan apabila dirasa kurang mampu. karena tugas saya adalah sekolah dan belajar jadi ibu dan bapak tidak pernah membebani saya dengan pikiran biaya sekolah. 

Seragam atau atribut baru adalah hal yang jarang saya miliki ketika masih duduk di bangku sekolah, kebanyakan adalah lungsuran dari kakak atau tetangga. Mulai dari seragam, tas, sepatu, jilbab, atau yang lainnya. Prinsipnya ibuk adalah jika ada yang masih bagus dipakai kenapa tidak? Karena harus segera digunakan, ya saya pakai. Sebagai remaja yang sedang beradaptasi dengan dunia remaja dan pertemanan pernah terbesit insecure dengan yang dimiliki tapi seiring waktu berjalan saya bisa menikmati apapun yang saya pakai dan terima, toh tidak melanggar peraturan dan masih bisa bersekolah, its okay

Kali ini tentang sepatu. Saya masih duduk di tahun pertama menjadi siswa SMP. Ibu tidak membelikanku sepatu baru karena sepatu semester kemarin masih bisa dipakai meski saya tidak suka dengan modelnya. Namun senangnya, salah seorang teman karib saya memberi sepasang sepatu miliknya yang masih cukup bagus daripada milik saya. Alhasil saya punya dua pasang sepatu. Karena model sepatu pemberian temanku lebih menarik sayapun sering memakainya. Sepatu hitam dengan model tali dan lupa mereknya. Merek baguslah pokoknya. karena bagi saya itu cukup menambah percaya diri seorang macam saya. 

Setelah lama dipakai, bagian tepi belakang sol sepatu sebelah kanan sudah mulai terlepas tapi masih bisa dipakai, jadi saya masih tidak terganggu. Toh banyak sepatu milik teman-teman laki-laki yang meskipun sudah menganga masih pede memakainya. Pagi itu saya masih merasa enjoy memakainya tapi lama-lama saya merasa terganggu, saya cek ternyata sol sepatunya mulai melepaskan diri dari lem yang merekatkannya dengan badan sepatu. Mulailah resah melanda. 

Selama pelajaran berlangsung saya mulai terganggu dengan kondisinya. Resahku semakin menggebu. Saya memilih tidak beranjak dari kursi jika tidak ada perlu. Haduh bakal lepas semuanya ini bersit saya dalam hati. Berkali-kali saya coba membetulkan, mencoba merekatkan kembali, lalu bertanya pada teman-teman barangkali ada yang memiliki karet. Maksud saya biar antara bagian atas sepatu dan solnya saya satukan dengan karet. Nihil. Tidak ada yang punya. 

Di tengah keresahan yang terjadi dalam hati dan pikiran, saya mendapatkan tugas menulis di papan tulis. Mau tidak mau saya harus melakukan karena sudah menjadi tugas sekrertaris. Saya berusaha mencoba untuk membetulkan sepatu hitam ini, mengatur agar tetap pada posisinya. Haduh.. rupanya sudah terlepas sebagian, alhasil saya berjalan sedikit menyeret dan alhamdulillah hal itu tidak disadari oleh teman-teman. 

Ketika pulang saya dilanda bingung dan wasa-was parah. Rupanya bagian belakang sudah terlepas semua. Jika berjalan sol itu akan berpindah posisi. Berkali-kali saya merubah model tali sepatu agar sol sepatunya tetap dibawah. Dirasa sudah aman saya mulai berjalan lagi, meskipun dalam hati sangat was-was. Saya memilih pulang akhir agar tidak banyak yang melihat saya berjalan menyeret. Lalu datanglah teman saya, teman pulag bersama. Ketika sudah berjalan beberapa langkah saya dan teman saya kaget. Sol sepatu saya terlepas dari tali dan mengenai sepatu teman saya. Ia terlepas meninggalkan ujungnya saja yang merekat. Sontak saya dan dia kaget. Haduh.. yang saya khawatirkan terjadi. Ia terlepas di depan orang. Malu juga takut. Untungnya momen itu terjadi di samping gedung dan sudah sepi. Jadi tidak terlalu malu. 

"Loh! kenapa mbak?" tanya teman saya.
"Iya, sepatuku rusak, haduh gimana ya" jawab saya sedikit meringis. Dia sedikit tertawa karena kejadiannya juga mengejutkan. lalu kami berdua berjongkok. Saya melepas sepatunya. 
"Ndak papa wes mbak" ujarnya
"Hmm.. coba di tali dulu wes, atau tidak usah dipakai saja"
"Tapi aku malu, coba bantu tali aja dulu ya"
"oh.. iya-iya" segera dia mengikat sol sepatu dan badan sepatu dengan talinya.
Beruntungnya ada dia. Akhirnya dari tangannya tali itu menurut dan mau mengikat sol sepatu dan badan sepatunya. Dirasa cukup kuat, kemudian kami berjalan lagi. Namun was-was tetap membuntuti saya.
"Terimakasih ya" 
"Iya, ayuk cepat pulang" ajaknya. 

Untungnya jarak ke jalan raya tidak jauh, hanya perlu menyeberang dan menunggu angkutan umum untuk membawa pulang. Lega rasanya bisa duduk di dalam angkutan umum dan ingin rasanya cepat sampai rumah. Setelah turun dari angkutan langsung saja saya lepas sepatunya dan berjalan hanya berkaos kaki saja hingga sampai rumah. Saya bukan tipe remaja yang pede ditambah lagi sifat pemalu yang banget. Alhasil minta bantuan saja masih banyak mikirnya. Entah dari mana sebabnya, hari ini masih saya telusuri. 

Proses asah asih asuh ibu yang saat itu belum saya pahami banyak membuat saya betindak dan belajar lebih keras, meski sesekali rasa tidak bersyukur itu datang. Ternyata kondisi yang serba cukup dan apa adanya membuatku tergerak untuk berpikir kreatif, berusah untuk menemukan solusi dari kesulitan yang dihadapi dan menghargai apapun yang ada disekitar saya. 

Meakipun seragam dan atribut saya jarang yang baru, saya sangat sangat bersyukur bisa bersekolah, bisa memiliki teman-teman yang tidak pilih-pilih, bisa mendapatkan ilmu dan pengalaman yang juga didapatkan oleh teman-teman, dan yang membahagiakan  bagi saya adalah momen ketika saya bisa masuk sepuluh besar lulusan terbaik. Bukan karena saya pintar tapi saya yakin ini adalah keajaiban pengorbanan orang tua dan doa-doa mereka untuk saya. Tidak pernah terbesit dalam benak saya, anak yang sol sepatunya pernah lepas bisa menjadi bagian siswa beruntung yang dipanggil mc untuk maju ke atas panggung bersama orang tuanya. tahadduts bi ni'mah geh, hehehe

Wajar sekali memang jika remaja merasa tidak percaya diri dengan tampilan yang ia kenakan, karena ia sedang dalam proses mengenal diri. merasa malu jika tidak sama dengan teman-temannya atau tidak bisa mencapai ekspektasi ideal kalangan remajanya. Saat itu saya belum tahu dan paham arti menerima diri apa adanya dan situasi yang dihadapi, dalam pikiran dan benak saya sangat mengharapkan bahwa saya harus bisa seperti mereka atau memantaskan diri ada di tengah mereka. Padahal mereka juga tidak berharap demikian. di luar itu saya merasa beruntung bisa ada di tengah mereka dengan apa adanya saya dan mereka mau menerima apa adanya saya dan menjadi teman-teman terbaik untuk saya.

Dari pengalaman itu saya terus belajar untuk bisa menerima diri saya sendiri, mencari maksud dari didikan bapak dan ibu yang secara tersirat disampaikan kepada anaknya, dan berusaha untuk terus berbakti pada orang tua dan saling membantu dalam hal kebaikan kepada teman.

thank you for your kindness to me, buddies!


You May Also Like

0 komentar

Silakan tinggalkan pesan, saran, masukan disini yaaa....

Powered by Blogger.