Aku, Buku dan Perjalanan Beradaptasiku

by - May 03, 2021


Sepanjang dua puluh tahun lebih saya berada di Bumi, baru pada angka dua ribu dua puluh hitungan masehi, saya dihadapkan satu momen yang tidak pernah sama sekali terbayangkan. Momen yang biasanya hanya saya lihat dari film-film produksi Barat, kini malah saya ada di dalam fiksi yang berubah jadi non fiksi. Iya benar Pandemi. Suatu virus yang kini sudah sangat bersahabat di telinga dan mata, virus corona awalnya datang laiknya monster yang akan menyerang siapa saja, mulanya hanya menyebar di satu kota di negeri yang jauh disana, dalam hitungan hari virus itu menyebar seantero dunia hingga status pandemi disiarkan oleh badan kesehatan dunia.

Awal februari virus itu sudah transit di tubuh dan udara Indonesia, yang kemudian berkembang biak sangat cepat di udara dan tubuh-tubuh saudara se tanah air yang lain. Data orang-orang yang terduga terpapar dan positif sudah mulai disiarkan. Tidak dapat dipungkiri sistem stay at home atau PSBB yang sudah berlaku menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran, khususnya saya. Saya setiap hari selalu mengecek data-data yang dibagikan kementerian kesehatan. Data orang-orang yang terpapar terus naik yang selanjutnya mempengaruhi keadaan mental saya. 

Kecemasan saya menyulut overthinking yang kemudian berbuntut psikosomatis saya kambuh. Untungnya saya bisa menyadari. Segera saya ambil jarak dari data-data mengerikan tersebut. Saya tidak lagi memantengi jumlah orang-orang dengan berbagai tipe gejala dan alhamdulillah mental saya berangsur membaik dari sebelumnya.

Saya mulai menyembuhkan diri saya dengan membaca artikel terkait apapun yang sedang saya alami. Saya juga coba untuk menuliskan perasaan dan pikiran saya di blog saya ini. Untuk menambah bacaan saya merambah google untuk mengadopsi buku baru. Loving The Wounded Soul karya Regis Machdy menarik perhatian saya. Setelah saya membaca berbagai review dan sinopsis bukunya, rupanya buku ini menarik dan pas menemani ketidaktenangan di tengah pandemi ini.

Pertengahan november, buku ini sudah datang. Berbagai hal tentang depresi dibahas dengan bahasa yang komunikatif dan jelas. Pengalaman penulis tentang perjalanan panjang depresi yang dialaminya dan  proses penyembuhannya menjadi gambaran nyata yang bisa membawa pembaca bisa menyadari bahwa makna depresi yang sebenarnya. Depresi sebagai suatu penyakit yang tidak bisa dianggap remeh dan depresi sebagai suatu tanda akan eksistensi kita sebagai manusia.

Saya banyak belajar dari pengalaman dan ilmu yang dibagikan Kak Regis dalam buku ini. Pemahaman tentang penyakit psikis ini membuka pandangan saya lebih luas dan dalam. Penyakit psikis yang dianggap sebelah mata di lingkungan kita, bahkan dianggap remeh itu nyata adanya, ia seperti luka yang ada di tubuh kita yang perlu disembuhkan, perlu diobati dan dirawat juga dijaga kesehatannya.

Depresi juga berangkat dari stres-stres kecil yang bertumpuk dan tidak diselesaikan, bahkan akan lebih kronis jika depresi sudah menyerang fisik yang kemungkinan bisa menyebabkan kematian, mengerikan bukan?

Bertahan di tengah pandemi bukanlah perkara yang mudah, kita semua diharuskan merubah kebiasaan hidup kita, kebiasaan yang selama ini dilakukan untuk hal-hal tertentu, kini malah menjadi kebiasaan semua penduduk pandemi. Kita mau tidak mau akan dan harus terbiasa dengan berita kematian mendadak orang yang kita kenal, kerabat dekat bahkan tokoh-tokoh besar dengan sebab virus corona ini. Berita pasien corona seakan menjadi makanan lezat media yang tidak akan habis dibahas. 

Pengalaman dan ilmu Kak Regis banyak membantu saya beradaptasi dengan keadaan baru ini, keadaan yang banyak menjadi sebab stres bahkan depresi muncul. Mengontrol pikiran dan mengelola emosi adalah cara kita tetap sehat secara psikis yang harus selalu dibarengi dengan cara hidup sehat dengan berolahraga dan konsumsi makanan halalan wa thoyyiban.

Depresi yang datang sebagai penyakit nyatanya bukan sekadar suatu aib atau hal buruk, ia adalah tanda bahwa saya dan anda sedang hidup, kita adalah manusia, kita hanyalah seorang hamba yang lemah yang butuh pada Penciptanya. Depresi hadir untuk mengingatkan kita agar lebih sadar akan apapun yang telah kita lakukan dan yang kita rasakan. Depresi juga mengantarkan kita untuk menerima bahwa kita punya kekurangan dan depresi juga mengajarkan kita untuk lebih mencintai diri kita sehingga kita bisa menjadi diri sendiri, mampu menemukan tujuan hidup dan menghayati makna hidup. (hal. 240)

Dalam perjalanan adaptasi diri di tengah pandemi, saya tidak begitu saja lepas dari overthinking sebelum dan setelah tidur, tapi saya mulai berusaha untuk mengontrol pikiran saya agar tidak jatuh pada "terlalu", saya terus mencoba menerima kekurangan  dan kelemahan, saya terus berbicara pada diri saya sendiri untuk meyakinkan bahwa diri saya lebih hebat dari depresi dan gangguan-gangguan psikis lainnya, bahwa Allah menciptakan diri saya dengan sebaik-baik bentuk, bahwa Allah akan memberikan ketetapan hambaNya yang terbaik meskipun bagi hambaNya dirasa sulit dan menyakitkan.

Loving The Wounded Soul, mengakui bahwa diri ini lemah dan butuh pada yang lain, lalu menerima apapun yang sudah diberikannya, memberikan maaf pada diri yang nyatanya banyak melukai diri sendiri, selanjutnya berterima kasih atas semua usaha bertahan, mengobati, merawat dan menjaga diri adalah cara saya untuk mencintai bagian-bagian diri saya yang terluka.

Terimakasih Kak Regis sudah sedia berbagi pengalaman yang dulu sempat menyakitkan, sebab dari itu saya tidak merasa sendiri dengan kondisi yang saya rasakan, saya lebih terbuka untuk menerima diri saya dan berbagi tentang kondisi-kondisi mental yang perlu banyak orang tahu dan paham akan hal ini. 



Loving The Wounded Soul - Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia

Tahun Terbit : September 2019

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama


You May Also Like

1 komentar

Silakan tinggalkan pesan, saran, masukan disini yaaa....

Powered by Blogger.