Tiap malam menyingsingkan gelapnya,
lalu bergerak perlahan melepas sinar fajarnya,
Terbujur malas di bawah kenyamanan percaya,
ada punggung yang hampir terhujam tenggelam
lalu bergerak perlahan melepas sinar fajarnya,
Terbujur malas di bawah kenyamanan percaya,
ada punggung yang hampir terhujam tenggelam
oleh pelukan hangat ribuan bulu-bulu lelah
Jendela matanya terjerat mimpi
Enggan membuka meski diketuk aroma pagi.
Petrikor telah menguar sedari desember
ikut mengusik ruang benak,
turut menjadi alasan dia enggan bersapa
Kini basahnya berlalu menjalar
ke celah dinding ketangguhan
yang lama ia bangun,
membentuk garis kecewa yang hijau melumut,
merembeskan air yang tak terbendung
dari bata tua yang semakin letih dimakan masa
Tiap gerombolan butir cahaya menembus lorong sadarnya,
satu persatu dia tarik jiwa raganya dari dunia beta
bergerak menemui cermin yang sedia menyapa bola matanya,
menunggu rutinitas laporannya
akan pergerakan warna gelap di sekitarnya
Cermin yang tak lelah melalukan tugasnya,
mengabarkan ekspansi brutal garis hitam
aksinya hampir menyentuh ujung pipinya
Sejak musim dingin terasa kian menyiksa sepi,
rupanya tongkat peri malam bekerja ganda.
Selain melukis mimpi indah pelipur nestapa,
dia juga bekerja mewarnai hitam lekuk tipis
Hanya begitu taktiknya
supaya pemilik dua mata itu tersadar
bahwa tubuhnya terluka,
benaknya sangat payah
butuh segera mengambil jeda.