Di Semesta Cita-cita

by - November 25, 2022

 


Sewaktu usia saya belajar di sekolah dasar, saya teramat mengagumi salah satu pekerjaan orang dewasa hingga terlampau sering memeragakan gaya kerjanya. Mulai dari cara berpakaian, berjalan dan berbicara. Memainkan peran sebagai sosoknya telah berhasil menumbuhkan percaya diri, dan bahagia sebab saya merasa tampil pintar dan keren.

Dari peran itu, kemudian saya benar-benar suka memgamati bagaimana peran ini dijalankan oleh orang-orang yang saya temui di pagi hari hingga menjelang matahari kembali ke peraduannya. Saya selalu takjub atas aneka pengetahuan dan cara penyampaian mereka. Peran yang dijalankan bisa mengubah saya dan teman-teman menjadi banyak tahu dan paham serta melakukan praktik banyak ihwal. Apalagi hal itu baru bagi saya.

Di masa itu, dimana bermain adalah hal paling disukai, saking sering memainkan peran ini, pintu ruangan di rumah yang kebetulan dari triplek menjadi sasaran alat peraganya demi mendapatkan peran yang menjiwai. Bahkan suatu kali hobi saya diketahui tetangga saya yang sudah saya anggap Bapak sendiri (beliau seorang sopir yang sayang anak-anak) membawa oleh-oleh bekas antena tv dari busnya untuk diberikan pada saya sebagai alat tunjuk agar hobi saya memainkan peran ini lebih menghayati. Alhasil seisi rumah sering banyak menahan tutup telinga sebab suara ketukan besi panjang yang asik saya mainkan menunjuk kata-kata di papan alias pintu. (terima kasih, bapak)

Saat itu juga, setiap saya ditanya orang atau diminta mengisi data diri tentang cita-cita lekas tanpa pikir panjang saya menjawab Guru. Iya, saya bercita-bercita menjadi seorang guru. Satu pekerjaan yang baru saya pahami hari ini, bahwa itu bukan sekadar pekerjaan tapi hakikatnya sebuah pengabdian.

Cita-cita itu tidak pernah goyah hingga usia belasan menuju usia remaja akhir - hampir lulus tingkat menengah akhir.  Kenapa mulai tidak konsisten? sebab usia itu, saya sudah mulai banyak melihat dan mengamati banyak hal yang menarik minat saya agar mencoba memiliki cita-cita lain. Tapi, hal itu tidak kemudian menghapus bersih cita-cita yang sudah subur di seluas sanubari tersebut. Tetap ada keinginan untuk mengabulkannya suatu hari.

Di pesantren, Allah yang Maha Mendengar dan Bijaksana kemudian mengabulkan cita-cita saya. Meski tidak seutuhnya dan sebagai latihan, saya yang masih santri dan murid berkesempatan menjadi seorang guru. Ada kelas mengaji yang diamanahkan untuk saya  pimpin dan kelola. Saat itu saya menemani sekitar dua puluh lebih adik kelas. Sungguh simulasi yang fantastis. Saya senang bisa ada dalam doa-doa yang dikabulkanNya meskipun tidak mudah dan sedikit sulit. Dan kelas inilah awal kali saya menjalani peran yang dulu hanya sebuah permainan.

Selanjutnya, banyak jalan dari Allah untuk saya benar-benar memgambil peran menjadi guru meski belum bagian dari pekerjaan. Akhirnya pada suatu hari berikutnya saya benar-benar menjalani peran ini dengan seutuhnya. Sebab guru adalah salah satu yamg disebut profesi, ya begitulah saya sekarang sedang menjalani profesi ini. Saya menyebutnya saya berada di semesta cita-cita.

Menjadi guru bukan perkara mudah. Bukankah semua profesi begitu? Iya memang. Tapi peran yang satu ini teramat mulia sampai ganjaran pahalanya terus mengalir meski telah meninggalkan dunia.

Seperti yang sempat saya tulis di salah satu paragraf di atas, baru saya pahami setelah peran ini benar-benar menjadi sebagian kegiatan harian. Bahwa menjadi guru tidak sebatas memberi ilmu dan pengetahuan belaka, ada buanyak sekali bekal dan persiapannya sebelum, selama dan sesudahnya.

Menjadi guru adalah bentuk pengabdian kepada Allah atas ilmu yang sudah diperoleh. Bagi saya, jika absen dalam benak dan sanubari seorang guru benih jiwa pengabdian, maka dia akan mudah menyerah menjalani peran ini.

Tak terhitung jumlah anak didik yang dihadapi setiap hari dengan perbedaan daya tangkap pemahaman, karakter dan kepribadian yang membuat guru harus berusaha dengan berbagai gaya dan cara agar anak didik bisa paham atas ilmu yang disampaikan. Bukan satu dua anak yang dihadapi dalam sekali waktu tapi bisa puluhan bahkan ratusan, jika kognitif, kinestetik dan afektif tidak sepenuhnya dioptimalkan oleh guru, maka transfer ilmu tidak akan optimal.

Ketiga aspek itu sangat perlu dipahami oleh seorang guru, apalagi pada masa sekarang yang kudu bertambah keterampilannya yakni paham dan mampu tentang teknologi. Butuh belajar intonasi nada, bahasa tubuh, empati dan tanggap pada setiap proses transfer ilmu. Maka, tidak jarang kehabisan energi kerap terjadi usai masuk satu kelas akibat persekutuan emosi dan fisik demi mengerahkan isi pikiran masuk dalam pikiran dan sanubari anak didik.

Disamping itu, pada negara kita, administrasi pendidikan menjadi bagian utama yang perlu dipenuhi  seorang guru khususnya di lembaga formal. Akan sangat baik memang jika ini disiapkan dengan matang tapi seringkali hal ini dirasa berat bagi seorang guru. Entah karena banyak yang harus lekas dikerjakan dan dikumpulkan atau tidak tahu menahu pengerjaannya atau malas mengerjakannya yang membuat jadi kian ingin berteriak, dan terus mengeluh sepanjang hari. 

Belum selesai urusan karakter setiap anak didik, tuntutan administrasi turut membuntuti hampir 24/7 seorang guru. Hampir saja ikut kemana sang guru menggerakkan tubuhnya. hehehe

Sebab guru adalah satu dari beberapa pekerjaan sipil, negara memberi penghormatan dengan memberikan bisyaroh yang laik. Hal ini memang perlu diperhatikan bagi negara atau pemerintah tapi sebagai seorang guru tidak patut rasanya menjadikan bayaran sebagai keharusan meskipun itu adalah suatu hak atas kita. Kenapa? Sebab pasal pengabdian juga keharusan bagi kita atas anugerah ilmu yang sudah kita peroleh.

Memang bukan perkara mudah menjalankan prinsip ini, sayapun bukan yang suci atas perkara itu. Namun, kita yang sedang menjalani peran ini perlu terus belajar dan mendidik diri untuk ada dalam prinsip itu agar tidak kemudian menyesal, kecewa apalagi merusak niat baik dengan peran mulia ini.

Ada banyak sekali guru di seberang sana yang benar-benar tulus berbagi ilmunya tanpa mengharap secuil duniawi. Ada yang rela masuk hutan, rela menempuh puluhan kilometer, rela hadir meski berusia senja, rela hadir meski sakit bahkan terbaring di atas kasur, rela sebrangi bermacam-macam kondisi demi bisa menyampaikan ilmunya kepada siapapun. Perbutan mereka yang kita patut beri apresiasi setinggi-tingginya dan pantas menyandang sebutan pahlawan.

Mari kita hormati guru-guru kita, guru-guru anak kita, siapapun dia yang menjadi guru yang tulus ikhlas nan sabar mendidik, membimbing dan mengajari banyak hal sehingga dari yang tidak tahu menjadi tahu, menjadi paham, dan menyelamatkan kita dari persepsi dan perbuatan yang keliru.

Kalau toh kita menemui dia seorang guru yang melakukan laku tidak baik bahkan buruk, adalah hal wajar karena dia manusia tapi bukan untuk dimaklumi jika sampai pada hal yang keji. Kita yang sebaiknya bijak dalam meresponnya. Guru yang katanya digugu lan ditiru bukan berarti keburukan yang tampak lekas diteladani, Bukan!!.

Oleh karena itu, kita perlu ikuti doa salah satu ulama', kita minta sama Allah semoga kita dihindarkan dari melihat aib atau keburukan yang sengaja/tidak sengaja dilakukan oleh guru kita sehingga hati kita benar-benar terjaga dari berprasangka buruk pada guru kita. 

Kiai saya pernah dawuh, orang tua yang merangkap menjadi guru kita apalagi mengajari ilmu agama maka sungguh patut bagi kita untuk menghormati dan mentaati seraya mendoakannya. Untuk itu Terima kasih tak terhingga untuk Ibu dan Abi saya yang telah menjadi guru dan teladan terbaik untuk anak-anaknya. Terima kasih kepada semua guru-guru saya, semoga guru selalu dalam keridhoanNya, diberikan sehat paripurna, rizki yang berlimpah juga barokah, dan diliputi dalam kebaikan dunia akhirat. Alfatihah...

Salam takdzim dari muridmu, Selamat Hari Guru Bapak Ibu Guru.
25 November 2022

You May Also Like

0 komentar

Silakan tinggalkan pesan, saran, masukan disini yaaa....

Powered by Blogger.